RSS

Sertifikasi Kompetensi Dokter Hewan Indonesia : Cacat Hukum

02 Nov

Oleh: dr drh Mangku Sitepoe

Sertifikasi Kompentensi Dokter Hewan adalah keterangan tertulis yang menjelaskan tingkat penguasaan kemampuan tenaga kesehatan hewan dalam melaksanakan urusan kesehatan hewan.( Penjelasan pasal 71 ayat 3 dari UU no.18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan).

Setiap Dokter Hewan Indonesia wajib memiliki sertifikat Kompentensi Dokter Hewan (Sumber:Pedoman Pelaksanaan Penerbitan Sertifikat Kompetensi Dokter Hewan Indonesia disusun oleh PDHI).

Pengurus PDHI menggunakan payun hukum untuk menerbitkan Sertifikat Kompentensi dan Registrasi Dokter Hewan Indonesia adalah:

1. UU no.18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

2. UU no.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikaan Nasional.

3. PP no 23 tahun 2004 tentang Badan Nasional sertifikasi Profesi.

Sedangkan Pelaksanaan Penerbitan Sertifikat Kompentensi Dokter Hewan Indonesia oleh PDHI berpedoman kepada UU no.18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pada:

1. Pasal 1 ayat 29

2. Pasal 71

3. Pasal 72. dan

4. Permentan no.2/Permentan/ OT.140/1/ 2010 tentang Pedoman Pelayanan Jasa Medik Veteriner.

Mendapatkan Sertifikat Kompetensi Dokter Hewan :

Setiap Dokter Hewan Indonesia wajib memiliki sertifikat Kompentensi.

Bagi Dokter Hewan lulus sesudah 7 Juni 2010: wajib mengikuti Ujian Nasional Sertifikat Kompentensi Dokter Hewan Indonesia.

Pelaksanaan Uji Kompetensi Dokter Hewan adalah Pengurus PDHI bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran Hewan seluruh Indonesia.

Membayar Biaya administrasi: Rp.300.000. (Pedoman Pelaksanaan Penerbitan Sertifikat Kompetensi Dokter Hewan Indonesia.

Kilas balik Dokter Hewan di Indonesia.

Sebutan nama Dokter Hewan

Motto Dokter Hewan Indonesia: MANUSYIA MRIGA SATWA SEWAKA. Melalui hewan mensejahterakan manusia atau kesehatan serta kesejahteraan hewan menunjang kesejahteraan dan membahagiakan manusia. Dokter Hewan mulia sebab menyehatkan dan mensejahterakan hewan juga menyehatkan dan mensejahterakan manusia. Sedangkan Dokter hanya menyehatkan dan mensejahterakan manusia saja. Sebutan nama Dokter Ternak (Veeartz): Fakultas Dokter Hewan didirikan pada tahun 1914 dengan nama: Nederland Indische Veeartsen School (NIVS), yang lulus disebut Veeartz atau Dokter Ternak. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) pasal 101: Ternak adalah hewan memamah biak, hewan berkuku satu dan babi. Hewan diluar ketiga jenis ternak bukan ranah Dokter Hewan. Prof M Soeparwi pada tahun1946 di Kelaten mendirikan Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, yang lulus dan disumpah disebut Dokter Hewan atau Dierenartz yang meliputi ekosistem kehidupan: dunia fauna Didukung oleh suatu UU yaitu Staatsblad 1912 no.432 atau UU Veteriner pada pasal 34 ayat 1: yang memiliki Kewenangan Medis Veterier atau Veearsnijkundige (Otoritas Medis Veteriner = ruang lingkup Kompetensi Dokter Hewan) adalah mereka yang lulus dan di Sumpah pada Fakultas Kedokteran Hewan. Pasal 34 ayat 2 : menetapkan Veearsnijkundige Dienst atau Otoritas Veteriner pada Lembaga Pemerintah. Sangat disayangkan: Oleh para Dokter Hewan mendirikan Fakultas Peternakan, lulus dan tidak disumpah : tidak memiliki Kewenangan Medis Veteriner atau Veearsnijkundige. Djawatan Kehewanan Pusat diganti dengan Dirjen Peternakan sesuai dengan UU no.6 tahun 1967 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

UU no.6 tahun 1967: tidak mencabut Staaatsblad 1912 no.432, Direktur Jendral Peternakan masih seorang Dokter Hewan yang memiliki Kewenangan Medis Veteriner. Dikala Dirjen Peternakan berobah nama menjadi Dirjen Produksi Peternakan serta Direktur Jendral bukan se-orang Dokter Hewan sirnalah Kewenangan Medis Veteriner atau Veearsnijkundige

Melalui UUno.18 tahun 2009 tentang Peternakan pasal 68 ayat 4 yang mulai berlaku sejak Juni 2009 : Kewenangan Medis Veteriner (Veearsnijkundige = Keahlian dan Kewenangan Dokter Hewan) ruang lingkup kerja Dokter Hewan sesuai Staatsblad 1912 no.432 pasal 34 ayat 1 dan 2 telah di-aquisisi oleh Menteri Pertanian serta ditunjang pula oleh pasal 98 ayat 2b mencabut Staatsblad 1912 no.432. Kewenangan Medis Veteriner benar-benar tidak dimiliki oleh Dokter Hewan. PDHI bersama dengan berbagai Lembaga lainnya mengajukan Permohonan Uji Materi pasal 68 ayat 4 ke Mahkamah Konstitusi dan dikabulkan dengan Amar 2 Putusan: no.137/PUU-VIII/ 2010 pada tanggal 27 Agustus 2010 : pasal 68 ayat 4 tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat Amar 2 Putusan Mahkamah Konstitusi no.137/PUU-VIII/ 2009 : Kewenangan Medis Veteriner kembali dimiliki oleh Dokter Hewan sesuai dengan Staatsblad 1912 no.432 ayat 1 dan 2. Sedangkan pasal 68 ayat 4: merupakan core atau jantung dari BAB V. Kesehatan Hewan.

Kilas balik Kewenangan Medis Veteriner.

Kewenangan Medis Veteriner (Veearsnijkundige) atau Veterinary Medical Authority menyatunya : antara keahlian (kompetensi) dengan kewenangan dari se-orang Dokter Hewan. pada UU no.18 tahun 2009 disebut: Otoritas Veteriner

Sebelum disyahkan UU no.18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di Indonesia Juni 2009, dijumpai Staatsblad 1912 no.432 tentang Tjampur tangan pemerintah dalam bidang Kehewanan.UU no.6 tahun 1967 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan juga tidak mencabut Staatsblad 1912 no.432.

Ruang lingkup Kompetensi Dokter Hewan identik dengan Kewenangan Medis Veteriner atau Veeartsnijkundige memiliki payung hukum yang masih berlaku di Indonesia s/d UU no.18 tahun 2009 disyahkan yaitu Staatsblad 1912 no.432:

Pasal 34 ayat 1 dari Staatsblad 1912 no.432: Veterinary Medical Authority (Veearsnijkundige) atau Kewenangan Medis Veteriner dimiliki oleh Dokter Hewan yang telah lulus dari Fakultas Kedokteran Hewan di Indonesia maupun dinegeri Belanda yang telah mengucapkan sumpah Dokter Hewan. Dokter Hewan yang telah lulus dari Fakultas Kedokteran Hewan secara melekat sudah memiliki Kewenangan Medis Veteriner atau Veterinary Medical Authority yang memiliki ruang lingkup kerja Kompetensi Dokter Hewan meliputi:

Diagnosis

Therapi

Prognosa

dari penyakit yang diderita pasiennya.

Veterinary Medical Authority atau Kewenangan Medis Veteriner hanya dapat dikerjakan oleh Dokter Hewan beserta tugas yang diemban atas ke-celiaan Dokter Hewan. Sesuai dengan: Veterinary Statutory Body dari OIE (Organisasi Kesehatan Hewan Dunia).

Pasal 34 ayat 2 dari Staaatsblad 1912 no.432: pemerintah menetapkan Dokter Hewan berwewenang atau Veearsnijkundige beserta Veearsnijkundige Dienst atau Lembaga Dokter Hewan di Pemerintah harus dipimpin oleh seorang Dokter Hewan memiliki Kewenangan Medis Veteriner.

Dahulu lembaga Dokter Hewan dipemerintahan: Djawatan Kehewanan Pusat dan didaerah Dinas Kehewanan Daerah. Dengan UU no.6 tahun 1967 diganti menjadi Dirjen Peternakan dipimpin Dokter Hewan tetapi kemudian dipimpin oleh bukan Dokter Hewan sehingga tidak memiliki Kewenangan Medis Veteriner.

Pasal 34 ayat 3 dari Staatsblad 1912 no.432: Ternak adalah Hewan memamah biak, hewan berkuku satu dan babi sehingga unggas, hewan air, hewan liar, anjing, kucing dan lain-lain tidak termasuk ternak. Sesuai dengan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) pada pasal 101.

Kewenangan Medis Veteriner atau Veearsnijkundige merupakan ruang lingkup kerja Kompentensi Dokter Hewan Indonesia pada Staatsblad 1912 no.432 pasal 34 ayat 1 dan 2: sehingga pada Idjazah Dokter Hewan tertulis: Telah menempuh udjian DOKTER HEWAN : dengan hasil baik Drs Mangku Sitepoe lahir 10 Oktober 1935 di Lau Tepu sehingga kepadanya diberi hak untuk melakukan praktek dokter hewan seluruhnya. (Lampiran I). Lulus ujian Dokter Hewan tidak memerlukan Sertifikat Kompetensi sebab dalam Ijasah telah tertulis ruang lingkup Pekerjaan-nya: diberikan hak melakukan praktek dokter hewan seluruhnya. Serupa halnya pada Pengadilan: yang berwewenang mengadili seorang terdakwa adalah yang berprofesi Hakim selain profesi Hakim tidak memiliki kewenangan untuk mengadili tersangka. Dapat disimpulkan seorang Dokter Hewan yang lulus sebelum disyahkan UU no.18 tahun 2009: Ijazah Dokter Hewan : telah lulus Ujian Kompetensi. Kompetensi Dokter Hewan di Indonesia telah memiliki payung hukum yaitu: Staatsblad 1912 no.432 pasal 34 ayat 1 dan 2 yang dicabut oleh UU no.18 tahun 2009 melalui pasal 68 ayat 4 dan pasal 92 ayat 2 b . Salah satu alasan PDHI mengajukan Uji Kompetensi pasal 68 ayat 4 dari UU no.18 tahun 2009 ke Mahkamah Konstitusi dan telah dikabulkan pada 27 Agustus 2010 dengan no.137/PUU-VIII/ 2010.

Sertifikasi Dokter Hewan duplikat langsung UU Praktek Kedokteran no.9 tahun 2004: Sertifikasi Dokter Hewan duplikat dari Sertifikasi Dokter sesuai UU Praktek Kedokteran berbeda payung hukumnya.

Mereka yang lulus pada Fakultas Kedokteran setelah lulus dan disumpah pada Ijazah Dokter: menerangkan: telah lulus ujian dokter. Berhak memakai gelar Dokter (Lampiran II) belum lulus ujian Kompetensi Dokter. Sebelum adanya UU Praktek Kedokteran no.9 tahun 2004: saya lulus Dokter Umum pada tahun 1978 harus mendaftar untuk mendapatkan SID (Surat Izin Dokter) sesuai UU no.6 tahun 1963 dengan S I D no.81-88. Untuk supaya dapat melakukan pekerjaan sebagai Dokter Umum harus mendapat Surat Penugasan dengan no.KP.01.01. I.5.2.7046. Untuk mendapatkan izin praktek harus mengajukan permohonan ke Gubenur Kepala Daerah melalui Dinas Kesehatan. Sesudah berlaku UU no.9 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran untuk praktek Dokter harus memiliki Sertifikat Kompetensi dan harus teregistrasi yang dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran yang ditetapkan oleh Pemerintah. Sertifikasi Dokter melalui Konsil yang diduplikat oleh PDHI dalam memberikan Sertifikat Kompetensi Dokter Hewan. No registrasi saya pada saat ini adalah : 12.1.1.100.1. 07.080708. Mangku Sitepu. Sertifikat Kompentensi Dokter Hewan Indonesia dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia Pusat (lihat lampiran Sertifikat Kompetensi Dokter Hewan. Lampiran III ) suatu badan Swasta belum memiliki dasar hukum menerbitkan Sertifikat Kompetensi.

Menerbitkan Sertifikat Kompetensi Dokter Hewan bukan suatu lembaga yang ter-akreditasi suatu tindakan kriminal sesuai pasal 67 ayat 1dari UU no.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dipidana penjara paling banyak 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1 milyard

Payung hukum Sertifikat Kompetensi Dokter Hewan.

Payung hukum mendapatkan Sertifikat Kompentensi Dokter Hewan adalah:

I. UU no.18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pasal 71

Pada Penjelasan : Sertifikat Kompentensi Dokter Hewan adalah keterangan

tertulis yang menjelaskan tingkat penguasaan kemampuan

tenaga kesehatan hewan dalam melaksanakan urusan

kesehatan hewan.

II. UU no.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 61:

Ayat 1 : Sertifikat berbentuk ijasah dan sertifikat kompetensi

Ayat 2 : Ijasah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan

terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu

jenjang pendidikan setelah lulus ujian diselenggarakan

oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.

Ayat 3 : Sertifikasi kompetensi: diberikan oleh penyelenggara

pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik

dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap

kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah

lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan

pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.

III. PP 23/ 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Kompetensi pasal 1

Ayat 1 : Sertifikat Kerja adalah proses pemberian sertifikat

kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif

nelalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar

kompetensi kerja nasional Indonesia dan/atau Internasional

IV. Permentan no.2/Permentan/ OT.140/1/ 2010 tentang Pedoman Pelayanan Jasa Medik Veteriner yang diberlakukan sejak 19 Januari 2010. (Sebelum Amar Putusan Mahkamah Konstitusi no.137/PUU-VIII/ 201 tanggal 27 Agustus 2010). Isi Amar Putusan 2 dari Mahkamah Konstitusi : pasal 68 ayat 4: tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat maka Permentan no.2/Permentan/ OT-140/1/ 2010 cacat hukum.

Dari ke-empat dasar hukum Kompetensi Dokter Hewan hanya mendefinisikan ruang lingkup pekerjaan atau keahlian Dokter Hewan dengan mengenyampingkan sertifikat Kewenangan Medis Dokter Hewan yang hanya dapat dikerjakan oleh mereka yang memiliki kewenangan misalnya: mendiagnosa penyakit, mengobati dengan obat beresep (ethical drugs) dan prognosa dari penyakit pasien. Kompetensi Dokter Hewan: bukan sekedar sertifikat kerja atau keahlian tetapi juga sertifikat kewenangan yang disebut Veterinary Medical Authority atau Kewenangan Medis Veteriner. Itulah sebabnya oleh Prof M Suparwi mendirikan Fakultas Kedokteran dan Peternakan Universitas Gadjah Mada di Klaten pada tahun 1946: mereka yang lulus ujian Dokter Hewan memiliki keahlian dan kewenangan menjalankan praktek Dokter Hewan seluruhnya. Tidak memerlukan ujian Kompetensi sesuai dengan Staatsblad 1912 no.432 pada pasal 34 ayat 1 dan 2.

Berbagai istilah dikutip dari Terresterial Animal Health Code, 2006.

Veterinary Statue Body atau Kewenangan Medis Vateriner: Kewenangan Otonom dimiliki oleh Kewenangan Medis Veteriner. oleh Dokter Hewan, paramedis dan tugas pekerjaan dibawah ke-celiaan Dokter Hewan.

Veterinarian atau Dokter Hewan adalah seseorang yang terdaftar atau memiliki Sertifikat yang dikeluarkan oleh Kewenangan Medis Veteriner yang diakui dari suatu negara untuk berpraktek/mengemba ngkan ilmu Kedokteran Hewan.

Veterinary Authority: Kewenangan Medis Veteriner yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kesehatan hewan disuatu daerah dari satu negara. (sesuai dengan pasal: 34 ayat 2 Staatsblad 1912 no.432).

Veterinary paraprofessional: semua Kewenangan Medis Veteriner maupun pekerjaan yang dibawah keceliaan Dokter Hewan.

Veterinary Administration: Kewenangan Medis Veteriner untuk melaksanakan pelayanan Kesehatan Hewan disuatu Negara.

Veterinary Services: pelayanan kesehatan hewan adalah semua yang dilakukan Veterinary Administration, Veterinary Authority dan oleh semua yang termasuk dalam Veterinary Statue Body

Isu Sertifikat Kompetensi Dokter Hewan.

Dimulai dari setelah disyahkan UU no.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas:

Pasal 20 ayat 1: Perguruan Tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi dan /atau vokasi.

Pasal 21 ayat 3: Gelar Akademis, Profesi atau Vokasi hanya digunakan oleh lulusan perguruan tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar : akademis, profesi atau Vokasi. Gelar Dokter Hewan dan Profesi Dokter Hewan diberikan oleh Perguruan Tinggi yang terakriditasi bukan oleh profesi Dokter Hewan.

Memberikan Gelar dan Sertifikasi Kompetensi Dokter Hewan adalah Perguruan Tinggi yang terakriditasi dan bukan oleh badan swasta seperti Pengurus PDHI

Isu Sertifikasi Kompetensi Dokter Hewan terbawa arus oleh Dokter Hewan tunggal dosen di salah satu perguruan tinggi (tidak diakui oleh PDHI keberadaan Dokter Hewan dalam penyusunan RUU Peternakan dan Kesehatan sejak 24 Pebruari 2005) dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan telah disyahkan 7 Juni 2009. Dengan menetapkan kedalam UU no.18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pada pasal:

1. Pasal 1 ayat 29

Dokter Hewan adalah orang yang memiliki profesi dibidang kedokteran hewan , sertifikat kompetensi dan kewenangan medik veteriner dalam melaksanakan pelayanan kesehatan hewan.

2. Pasal 71 ayat 1: Tenaga medik veteriner melaksanakan segala urusan kesehatan hewan berdasarkan kompentensi medik veteriner yang diperolehnya dalam pendidikan dokter hewan.

3. Pasal 71 ayat 3: Dokter hewan spesialis dan/atau dokter hewan yang memperoleh sertifikat kompetensi dari organisasi profesi kedokteran hewan dan/atau sertifikat yang diakui oleh Pemerintah dapat melaksanakan urusan kesehatan hewan.

Kontroversi: Sertifikasi Kompetensi Dokter Hewan bukan dikeluarkan organisasi profesi kedokteran hewan tetapi dikeluarkan oleh Perguruan Tinggi yang terakreditasi sesuai pasal 61 ayat 3 dari UU no.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Bahkan PDHI dapat dituntut di Pengadilan sebab telah melanggar UU no.20 tahun 2003 pasal 67 ayat 1

4. Pasal 72 ayat 2: Untuk mendapatkan surat izin praktik kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tenaga kesehatan hewan yang bersangkutan mengajukan surat permohonan untuk memperoleh surat izin praktik kepada bupati/walikota disertai dengan sertifikat kompetensi dari organisasi profesi kedokteran hewan.

Pasal-pasal ini merupakan duplikasi langsung dari Sertifikat Kompentensi Dokter

melalui UU no.29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran merupakan UU Lex Spesialis dari UU Lex Generalis UU no.32 tahun 2003 tentang Kesehatan.

Demikiannya juga halnya dengan ke-empat pasal dari UU no.18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan seharusnya dijumpai dalam Rancangan UU Praktek Kedokteran Hewan yang dijumpai pada pasal 96 dari UU no.18 tahun 2009 sebagai UU Lex Spesialis dengan UU no.18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagai UU Lex Generalis. Lihat: KONTROVERSI UU NO.18/ 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN.

Sertifikasi Kompentensi Dokter Hewan di Indonesia tidak memiliki payung hukum.

Undang-Undang no.18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan mulai berlaku sejak 6 Juni 2009. Di pelopori oleh PDHI bersama berbagai lembaga dan perorangan mengajukan permohonan Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi dari:

Pasal 44 ayat 3

Pasal 59 ayat 2 dan 4

Pasal 68 ayat 4.

pada 16 Oktober 2009. Sesudah 4 kali bersidang dan pada akhirnya tanggal 27 Agustus 2010: permohonan para pemohon dibakulkan untuk sebagian.

AMAR PUTUSAN Mahkamah Konstitusi no.137/PUU-VII/ 2010 .

Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk sebagian;

Menyatakan:

– frasa, “Unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona”,dalam Pasal

59 ayat (2);

– frasa, “Atau kaidah internasional” dalam Pasal 59 ayat (4);

– kata “dapat” dalam Pasal 68 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009

tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5015) bertentangan dengan UU Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Menyatakan:

– frasa,”Unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona” Pasal 59 ayat 2

– frasa, “Atau kaidah internasional” dalam Pasal 59 ayat (4),

– kata “dapat” dalam Pasal 68 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009

tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5015) tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat;

Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;

Memerintahk an pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik

Indonesia sebagaimana mestinya;

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan

Hakim Konstitusi pada hari Rabu tanggal dua puluh lima bulan Agustus tahun dua

ribu sepuluh dan di ucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada hari

Jumat tanggal dua puluh tujuh bulan Agustus tahun dua ribu sepuluh, oleh kami

Moh. Mahfud MD., sebagai Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Harjono, M. Arsyad Sanusi, M. Akil Mochtar, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva masing-masing sebagai anggota, dengan didampingi oleh Alfius Ngatrin sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.

KETUA,

ttd.

Moh. Mahfud MD.

ANGGOTA-ANGGOTA

Core atau jantung dari Bab V tentang Kesehatan Hewan UU no.18 tahun 2009 adalah pasal 68 ayat 4 yang isinya: Kewenangan Medis Veteriner baik sebagai ruang lingkup kerja atau Kompetensi Profesi maupun Kewenangan Medis dari Dokter Hewan (pengejahwentahan pasal 34 ayat 1 dan 2 dari Staatsblad 1912 no.432 atau UU Veteriner ; Prof M.Soeparwi 1946)telah di-aquisisi atau dimiliki oleh Menteri Pertanian. Itulah sebabnya sebaik UU no.18 tahun 2009 disyahkan DPRI RI atas prakarsa PDHI langsung mengajukan permohonan Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi dan dikabulkan permohonan tersebut.

Amar Putusan

– kata “dapat” dalam Pasal 68 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Tafsiran Amar Putusan ini:

Kewenangan Medis Veteriner (baik kompetensi maupun kewenangan Medis Dokter Hewan) dengan 68 ayat 4 telah diaquisisi atau dimiliki oleh Menteri Pertanian diserahkan kembali oleh Menteri kepada Dokter Hewan yang memiliki kewenangan sesuai dengan Staatsblad 1912 no.432 pasal 34 ayat 1 dan 2. Sehingga Keputusan Menteri Pertanian no.2/Kepmentan/ OT.140/2010 tentang Pedoman Pelayanan Jasa Medik Veteriner yang diberlakukan sejak 19 Januari 2010 juga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat atau cacat hukum. Sedangkan Keputusan Menteri Pertanian no.2/Kepmentan/ OT.140/2010 tentang Pedoman Pelayanan Jasa Medik Veteriner sebagai payung hukum aplikasi Sertifikasi Kompetensi Dokter Hewan di Indonesia juga tidak memiliki kekuatan yang mengikat atau cacat hukum. Sertifikasi Kompetensi Dokter Hewan di Indonesia yang diterbitkan oleh pengurus PDHI adalah cacat hukum.

Aplikasi Kompentensi Dokter Hewan di Indonesia.

Walaupun Sertifikasi Kompentesi Dokter Hewan cacat hukum sesuai dengan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi no.137/PUU-VII/ 2010 tetapi PDHI masih terus mengaplikasikan Sertifikasi Kompentensi Dokter Hewan melalui : PEDOMAN PELAKSANAAN PENERBITAN SERTIFIKASI KOMPETENSI DOKTER HEWAN INDONESIA, KTA DAN STRV.

1. Seluruh Dokter Hewan Indonesia wajib memiliki Sertifikat Kompetensi Dokter Hewan Indonesia yang dilengkapi dengan STRV (surat tanda registrasi veteriner) beserta KTA (kartu tanda anggota) yang diterbitkan Pengurus Besar PDHI. Biaya administrasi Rp.300.000,-

2. Bagi Dokter Hewan lulusan setelah tanggal 7 Juni 2010 untuk mendapatkan Sertifikat Kompentensi wajib mengikuti Ujian Nasional Sertifikat Kompetensi Dokter Hewan (Ujinas KDHI). Diselenggarakan oleh Komite Bersama Ujinas KDHI disetiap FKH.

Walaupun dasar hukum Sertifikasi Kompetensi Dokter Hewan Indonesia sesuai dengan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi no.137/PUU-VIII/ 2010 sudah cacat hukum. Tetapi masih terus diaplikasikan dapat disebut suatu tindakan kriminal. Menerbitkan Sertifikat Kompetensi Dokter Hewan bukan suatu lembaga yang ter-akreditasi suatu tindakan kriminal sesuai pasal 67 ayat 1dari UU no.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dipidana penjara paling banyak 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1 milyard

-ms-

BAHAN BACAAN.

1. Staatsblad 1912 no.432 tentang Tjampur tangan pemerintah dalam bidang Kehewanan. Prof M Soeparwi 1946: menyebut sebagai UU Veteriner

2. UU no.6 tahun 1967 tentang Peternakan dan Kesehatan.

3. UU no.18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

4. UU no.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas.

5. PP 23/ 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Kompetensi

6. Permentan no.2/Permentan/ OT.140/1/ 2010 tentang Pedoman Pelayanan Jasa Medik Veteriner.

7. Terresterial Animal Health Code tahun 2006.

8. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi no.137/PUU-VII/ 2010.

9. Pedoman Pelaksanaan Penerbitan Sertifikasi Kompetensi Dokter Hewan Indonesia, KTA dan STRV.

10. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 2 November 2011 inci Studi Veteriner

 

Tinggalkan komentar